Senin, 28 Desember 2009

LANDASAN TEORI PSIKOLOGI TEKNOLOGI PENDIDIKAN

A. Pendahuluan
Teknologi pendidikan didefinisikan sebagai teori dan praktek dalam merancang, mengembangngkan, menerapkan, mengelola, menilai dan meneliti proses sumber dan sistem belajar (Miarso: 2007). Dari definisi tersebut, obyek formal teknologi pendidikan adalah belajar. Belajar itu sendiri dapat diartikan sebagai perubahan pada diri seseorang atau suatu lembaga yang relatif menetap dan berkembang dalam pengetahuan, sikap dan keterampilan, yang disebabkan karena pemikiran dan pengalaman. Belajar itu terjadi di mana saj, kapan saja, dari apa atau siapa saja dengan cara bagaimana saja.
Teknologi pendidikan telah berkembang sebagai suatu disiplin keilmuan yang berdiri sendiri. Perkembangan tersebut dilandasi oleh berbagai macam landasan. Salah satunya adalah landasan teori psikologi.
Psikologi atau ilmu jiwa adalah ilmu yang mempelajari jiwa manusia (Pidarta:2007). Jiwa manusia merupakan sebuah bagian penting dalam kehidupan manusia. Manusia dikatakan sempurna jika memiliki jiwa dan raga yang sehat dan sempurna. Apabila manusia hanya memiliki raga saja tanpa memiliki jiwa, maka ia dikatakan sebagai mayat. Begitu pula sebaliknya, apabila hanya jiwa saja tanpa raga, maka ia tidak dapat dinamakan sebagai manusia. Artinya, manusia sempurna harus memiliki raga dan jiwa yang sehat dan sempurna.
Adapun psikologi pendidikan, menurut Hamalik (2002) merupakan salah satu bidang dalam lingkup pendidikan yang perlu dipelajari oleh para calon guru atau oleh guru umumnya dalam rangka meningkatkan kemampuannya untuk melaksanakan tugas-tugas kependidikan. Psikologi pendidikan sangat relevan dengan pelaksanaan peran dan tugas guru di sekolah, yakni mempersiapkan kondisi dan lingkungan yang menyediakan kesempatan bagi siswa untuk belajar dan yang pada gilirannya untuk mengubah tingkah lakunya.
Dalam makalah ini akan dibahas mengenai psikologi pendidikan, berarti membahas mengenai psikologi perkembangan, psikologi belajar, psikologi sosial, kesiapan belajar dan aspek-aspek individu, dan dampak konsep pendidikan.

B. Pengertian Psikologi
Psikologi atau ilmu jiwa adalah ilmu yang mempelajari jiwa manusia. Jiwa manusia merupakan sebuah bagian penting dalam kehidupan manusia. Manusia dikatakan sempurna jika memiliki jiwa dan raga yang sehat dan sempurna. Apabila manusia hanya memiliki raga saja tanpa memiliki jiwa, maka ia dikatakan sebagai mayat. Begitu pula sebaliknya, apabila hanya jiwa saja tanpa raga, maka ia tidak dapat dinamakan sebagai manusia. Artinya, manusia sempurna harus memiliki raga dan jiwa yang sehat dan sempurna.

C. Psikologi Pendidikan
Psikologi pendidikan menurut Oemar Hamalik (2002) merupakan salah satu bidang dalam lingkup pendidikan yang perlu dipelajari oleh calon guru atau oleh guru umumnya dalam rangka meningkatkan kemampuannya untuk melaksanakan tugas-tugas kependidikan. Psikologi pendidikan sangat relevan dengan pelaksanaan peran dan tugas guru di sekolah, yakni mempersiapkan kondisi dan lingkungan yang menyediakan kesempatan bagi siswa untuk belajar dan yang pada gilirannya untuk mengubah tingkah lakunya.
Berbicara mengenai psikologi pendidikan, berarti membahas mengenai psikologi perkembangan, psikologi belajar, psikologi sosial, kesiapan belajar dan aspek-aspek individu, dan dampak konsep pendidikan.


1. Psikologi Perkembangan
Psikologi perkembangan merupakan ilmu yang mengkaji tingkah laku individu yang berada dalam proses perkembangan sejak kehidupan dimulai (konsepsi) hingga akhir kehidupan (mati) (Tohirin, 2005).
Dalam proses pendidikan, psikologi perkembangan mempunyai andil penting yaitu harus diketahui dan difahami oleh para pendidik. Pendidik hendaknya mendidik para peserta didiknya sesuai tingkat umurnya dan kemampuannya. Para pendidik harus bisa membedakan pendidikan untuk anak-anak, remaja, dewasa, bahkan untuk orang tua.
Berbicara psikologi perkembangan dalam kaitannya dengan teknologi pembelajaran, terdapat teori psikologi perkembangan yang merupakan landasan pertama ke arah teknologi pembelajaran. Teori tersebut merupakan teori yang dikemukakan oleh Thorndike. Adapun teori yang menjadi dalil utama tersebut adalah sebagai berikut:
 Dalil latihan dan ulangan: makin sering diulang respons yang berasal dari stimulus tertentu, makin besar kemungkinan dicamkan.
 Dalil akibat: menyatakan prinsip hubungan senang tidak senang. Respon akan diperkuat bilamana diikuti oleh rasa senang, dan akan diperlemah bila diikuti oleh rasa tidak senang.
 Dalil kesiapan: karena perkembangan sistem syaraf maka unit perilaku tertentu akan lebih mudah dilakukan, dibandingkan dengan unit perilaku yang lain (dikutip oleh Saettler, 1968 dalam Miarso, 2007).

Menurut Saettler dalam Miarso selanjutnya kontribusi Thorndike dalam teknologi pembelajaran adalah dengan rumusannya tentang prinsip-prinsip: 1) aktivasi diri; 2) minat/motivasi; 3) kesiapan mental; 4) individualisasi; 5) sosialisasi.
Untuk melaksanakan prinsip-prinsip tersebut seorang guru harus mengendalikan kegiatan belajar anak di dalam kelas ke arah yang dikehendaki, namun dengan tetap memerhatikan minat dan respons anak terhadap stimulasi yang diberikan. Stimulasi itu perlu disesuaikan dengan kesiapan mental anak, dan kecuali itu perbedaan individual perlu diperhatikan dengan jalan merancang dan mengatur situasi sedemikian rupa serta dengan menggunakan media, agar terjadi hubungan antara apa yang sudah diketahui anak dengan hal yang baru. Prinsip yang dikemukakan oleh Thorndike ini memang masih banyak dianut hingga kini, terutama dalam menentukan strategi belajar dan merancang produk pembelajaran.
Menurut Snelbecker dalam Miarso perkembangan beberapa posisi psikologi terhadap pendidikan yang lebih sistematis dan ilmiah, berlangsung pada sekitar tahun 1950-an. Perkembangan ini diberi nama ”teori pembelajaran” oleh mereka yang memilih pendekatan deduktif dalam menyusun teori, dan disebut ”teknologi pembelajaran” oleh mereka yang lebih memilih pendekatan yang pragmatis dengan terlebih dahulu mengumpulkan sejumlah besar fakta.
Dari pendapat Snelbecker ini dapat diambil kesimpulan bahwa teknologi pembelajaran merupakan pendekatan sistematis dan ilmiah dari psikologi terhadap masalah pendidikan. Dengan mengutip pendapat Siegel, selanjutnya Snelbecker mengemukakan kegunaan teori atau teknologi: 1) dapat mengusahakan perbaikan praktik pendidikan seperti yang berlangsung sekarang ini; 2) mampu memprediksi efektif tidaknya suatu inovasi, dan karena itu memberikan bahan pertimbangan kepada para pengelola pendidikan untuk menentukan kebijakan; 3) mengarahkan penelitian untuk masa-masa mendatang secara lebih sistematis (Miarso, 2007).
Dalam psikologi perkembangan, menurut Syaodih dalam Pidarta ada tiga teori atau pendekatan tentang perkembangan. Pendekatan-pendekatan yang dimaksud adalah:
 Pendekatan pentahapan. Perkembangan individu berjalan melalui tahapan-tahapan tertentu. Pada setiap tahap memiliki ciri-ciri khusus yang berbeda dengan ciri-ciri pada tahap lain.
 Pendekatan diferensial. Pendekatan ini memandang individu-individu itu memiliki kesamaan-kesamaan dan perbedaan-perbedaan. Atas dasar ini lalu orang-orang membuat kelompok-kelompok. Anak-anak yang memiliki kesamaan dijadikan satu kelompok. Maka terjadilah kelompok berdasarkan jenis kelamin, kemampuan intelek, bakat, ras, agama, status sosial ekonomi, dan sebagainya.
 Pendekatan ipsatif. Pendekatan ini berusaha melihat karakteristik setiap individu, dapat saja disebut sebagai pendekatan individual. Melihat perkembangan seseorang secara individual.

Dari ketiga pendekatan ini, yang paling banyak dilaksanakan adalah pendekatan pentahapan.
Selanjutnya, menurut Pidarta pendekatan pentahapan ada dua macam yaitu yang bersifat menyeluruh dan yang bersifat khusus. Yang menyeluruh akan mencakup segala aspek perkembangan sebagai faktor yang diperhitungkan dalam menyusun tahap-tahap perkembangan anak.
Menurut Crijns dalam Pidarta, periode atau tahap perkembangan manusia secara umum adalah sebagai berikut:
a. Umur 0 – 2 tahun disebut masa bayi. Pada masa ini, si bayi sebagian besar memanfaatkan hidupnya untuk tidur, memandang, mendengarkan, kemudian merangkak, dan berbicara.
b. Umur 2 – 4 tahun disebut masa kanak-kanak. Pada masa ini anak sudah mulai bisa berjalan, menyebut beberapa nama, pengamatan yang mula-mula global, kini sudah mulai melihat struktur, permainan-permainan mereka bersifat fantasi, masih suka menghayal sebab belum sadar akan lingkungannya.
c. Umur 5 – 8 tahun disebut masa dongeng. Anak-anak pada masa ini mulai sadar akan dirinya sebagai seseorang yang mempunyai kedudukan tersendiri seperti halnya dengan orang-orang lain. Pada masa ini mereka kebanyakan menyukai dongeng-dongeng.
d. Umur 9 – 13 tahun disebut masa Robinson Crusoe (nama seorang petualang). Dalam masa ini mulai berkembang pemikiran kritis, nafsu persaingan, minat-minat, dan bakat. Mereka ingin mengetahui segala sesuatu secara mendalam, suka bertanya, dan menyelidiki. Hidup mereka berkelompok-kelompok, anak laki-laki terpisah dengan anak-anak perempuan. Mereka memainkan peranan-peranan nyata seperti yang mereka lihat di masyarakat. Mereka suka menggoda, mengejek, dan sebagainya.
e. Umur 13 tahun disebut masa pubertas pendahuluan. Misalnya anak-anak ini mulai tertuju ke dalam dirinya sendiri, mereka mulai belajar bersolek, suka menyendiri, melamun dan segan olah raga. Mereka gelisah, cepat tersinggung, suka marah-marah, keras kepala, acuh tak acuh, dan senang bermusuhan. Terhadap jenis kelamin lain, mereka ingin sama-sama tahu, tetapi masih canggung.
f. Umur 14 – 18 tahun disebut masa puber. Mereka kini mulai sadar akan pribadinya sebagai seorang yang bertangung jawab. Mereka sadar akan hak-hak segala kehidupan segala lingkungannya.
g. Umur 19 – 21 tahun disebut masa adolesen. Anak-anak pada masa ini mulai menemui keseimbangan, mereka sudah mempunyai rencana hidup tertentu dengan nilai-nilai yang dipastikannya. Namun mereka belum berpengalaman, maka timbulah sikap radikal, ingin menolak, mencela dan merombak hal-hal yang tidak disetujuinya dalam politik, agama, sosial, kesenian dan sebagainya.
h. Umur 21 tahun keatas disebut masa dewasa. Pada masa ini remaja mulai insaf bahwa pekerjaan manusia tidak mudah dan selalu ada cacatnya. Mereka mulai berhati-hati.

Periode perkembangan tersebut adalah merupakan perkembangan secara umum. Artinya ada saja perkembangan anak atau remaja yang menyimpang dari perkembangan umum itu. Ada beberapa pendapat lain mengenai periode perkembangan ini seperti: masa perkembangan menurut Rouseau dan menurut Stanley Hall.
Rouseau membagi masa perkembangan atas empat tahap yaitu:
a. Masa bayi dari 0 – 2 tahun yang sebagian besar merupakan perkembangan fisik.
b. Masa anak dari 2 – 12 tahun yang dinyatakan perkembangannya baru seperti hidup manusia primitif.
c. Masa pubertas dari 12 – 15 tahun, ditandai dengan perkembangan pikiran dan kemauan untuk berpetualang.
d. Masa adolesen dari 15 – 25 tahun, pertumbuhan seksual menonjol, sosial, kata hati, dan moral. Remaja ini sudah mulai belajar berbudaya.

Sementara itu Stanley dalam Pidarta juga membagi masa perkembangan anak atas empat masa yaitu:
a. Masa kanak-kanak ialah umur 0 – 4 tahun sebagai masa kehidupan binatang.
b. Masa anak ialah umur 4 – 8 tahun merupakan masa sebagai manusia pemburu.
c. Masa muda ialah 8 – 12 tahun sebagai manusia belum berbudaya.
d. Masa adolesen ialah umur 12 – dewasa merupakan manusia berbudaya

Demikian para ilmuan mengenai masa-masa perkembangan anak. Sebenarnya masih ada beberapa pendapat lagi mengenai masa perkembangan anak ini. Namun kami hanya mengetengahkan pendapat-pendapat tersebut di atas.
Kini mari kita teruskan membahas psikologi perkembangan ini yang memakai pendekatan pentahapan tetapi bersifat khusus. Kita mulai dari konsep Jean Piaget yang menekankan tingkat-tingkat perkembangan khusus yang kognisi. Menurut Piaget dalam Pidarta ada empat tingkat perkembangan kognisi, yaitu:
 Periode sensimotor pada umur 0 – 2 tahun.
 Periode praoperasional pada umur 2 – 7 tahun.
 Periode operasi konkret pada umur 7 – 11 tahun
 Periode operasi formal pada umur 11 – 15 tahun.

Teori Perkembangan Piaget ini bermanfaat bagi pendidikan dalam mengorganisasi materi pelajaran dan proses belajar terutama yang berkaitan dengan upaya mengembangkan kognisi anak-anak. Konsep ini ada hubungannya dengan perkembangan kognisi menurut Bruner sebagai berikut:
a. Tahap enaktif, anak melakukan aktivitas-aktivitas dalam upaya memahami lingkungan.
b. Tahap ikonik, anak memahami dunia melalui gambaran-gambaran dan visualisasi verbal.
c. Tahap simbolik, anak telah memiliki gagasan abstrak yang banyak dipengaruhi oleh bahasa dan logika..

Selanjutnya Bruner mengatakan bahwa perkembangan kognisi seseorang bisa dimajukan dengan jalan mengatur bahan pelajaran, antara lain dengan kurikulum spiral.
Dalam aspek afeksi, Erikson dalam Pidarta mencoba menyusun perkembangannya. Perkembangan afeksi terdiri atas delapan tahap sebagai berikut:
 Bersahabat vs menolak pada umur 0 – 1 tahun.
 Otonomi vs malu dan ragu-ragu pada umur 1 – 3 tahun.
 Inisiatif vs perasaan bersalah pada umur 3 – 5 tahun.
 Perasaan produktif vs rendah diri pada umur 6 – 15 tahun
 Identitas diri vs kebingungan pada umur 12 – 18 tahun
 Intim vs mengisolasi diri pada umur 19 – 25 tahun.
 Generasi vs kesenangan pribadi pada umur 25 – 45 tahun
 Integritas vs putus asa pada umur 45 tahun ke atas.

Seperti halnya dengan perkembangan kognisi, perkembangan afeksi ini pun memberi kemudahan kepada para pendidik dalam mengembangkan afeksi anak-anak, juga dalam mempengaruhi afeksi orang dewasa dan orang-orang yang sudah tua, dengan cara mengikuti tahap-tahap tersebut.
Sehubungan dengan hal ini perlu dikemukakan simpulan Baller dan Charles dalam Pidarta sebagai berikut:
a. Anak yang berasal dari keluarga yang memberi layanan baik, akan bersifat ramah, luwes, bersahabat, dan mudah bergaul.
b. Anak yang dilahirkan pada keluarga yang menolak kelahiran itu, akan cenderung menimbulkan masalah, agresif, menentang orang tua dan sulit diajak bicara.
c. Anak yang diberikan pada keluarga yang acuh tak acuh pada anak, cenderung bersikap pasif dan kurang popular di luar rumah.

Konsep perkembangan yang dibahas terakhir ini berasal dari Gagne, yang bisa disebut sebagai perkembangan kemampuan belajar. Perkembangan itu adalah sebagai berikut:
a. Multideskriminasi, yaitu belajar membedakan stimuli yang mirip, misalnya huruf b dengan d.
b. Belajar konsep, yaitu belajar membuat respon sederhana, seperti huruf hidup, huruf mati dan sebagainya.
c. Belajar prinsip, yaitu mempelajari prinsip-prinsip atau aturan-aturan konsep.
d. Pemecahan masalah, yaitu belajar mengkombinasikan dua atau lebih prinsip untuk memperoleh sesuatu yang baru.

Pembahasan tentang psikologi perkembangan ini yang mencakup perkembangan umum, kognisi, moral, afeksi, dan kemampuan belajar atau dapat disingkat menjadi teori perkembangan umum, kognisi, dan afeksi, memberi petunjuk yang sangat berharga bagi para pendidik dalam mengoperasikan pendidikannya. Karena itu pendidik harus paham akan tahap-tahap perkembangan ini agar ia dapat membantu perkembangan anak-anak secara optimal pada segala jenjang dan tingkat sekolah.

2. Psikologi Belajar
Satu hal yang harus anak lakukan adalah belajar, terutama belajar memahami diri sendiri, belajar memahami perubahan lingkungan, dan belajar membaca isyarat zaman. Belajar melihat ke depan dan belajar mengantisipasi realitas merupakan sikap mental diri yang harus terbentuk dalam diri pribadi anak. Untuk melahirkan sikap mental anak yang antisipatif tersebut dibutuhkan guru yang piawai untuk mendidiknya. Pendidikan intelektual dengan mengabaikan pendidikan sikap mental bukan zamannya lagi ketika jahiliyah moral dan akhlak merajalela di tengah ketakberdayaan dan kepasrahan insani. Oleh karena itu, kita harus membekali anak dengan nilai-nilai moral, sosial, susila, etika, dan agama sebagai pembungkus kepribadian, sehingga anak betul-betul lahir sebagai anak yang berbudi luhur, tidak diumpamakan sebagai manusia dengan perangai binatang.
Kehendak di atas tentu saja tidak akan terwujud bila guru tidak mau tahu siapa anak didik dan bagaimana cara belajarnya. Apabila keharmonisan hubungan guru dengan anak didik tidak dapat diwujudkan. Karena itu, memahami anak didik dan bagaimana cara belajarnya merupakan langkah awal untuk mewujudkan kehendak bersama. Sedangkan sebagai prasyaratnya untuk dapat memahami siapa anak didik dan bagaimana cara belajarnya, guru perlu dibekali dengan aneka ragam pengetahuan psikologis yang sesuai dengan tuntutan zaman, kemajuan sains, dan teknologi, salah satunya adalah psikologi belajar.
Psikologi belajar adalah sebuah fase yang terdiri dari dua kata, yaitu psikologi dan belajar. Ada beberapa bermacam definisi psikologi yang satu sama lain berbeda, antara lain:
 Psikologi adalah ilmu mengenai kehidupan mental.
 Psikologi adalah ilmu mengenai pikiran
 Psikologi adalah ilmu mengenai tingkah laku.

Dari batasan tersebut jelas bahwa yang dipelajari oleh psikologi adalah tingkah laku manusia, yakni interaksi manusia dengan dunia sekitarnya.
Sedangkan belajar itu sendiri secara sederhana dapat diberi definisi sebagai aktivitas yang dilakukan individu secara sadar untuk mendapatkan sejumlah kesan dari apa yang telah dipelajari dan sebagai hasil dari interaksinya dengan lingkungan sekitarnya.
Pidarta merumuskan belajar sebagai perubahan perilaku yang relative permanent sebagai hasil pengalaman dan bisa melaksanakannya pada pengetahuan lain serta mampu mengkomunikasikannya kepada orang lain. Sedangkan menurut Hamalik (2002) belajar mengandung pengertian terjadinya perubahan dari persepsi dan perilaku, termasuk juga perbaikan perilaku, misalnya pemuasan kebutuhan masyarakat dan pribadi secara lebih lengkap.
Dari berbagai pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa inti dari belajar adalah adanya usaha untuk terjadinya perubahan perilaku. Namun, tidak semua perubahan perilaku berarti belajar.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa psikologi belajar adalah sebuah disiplin psikologi yang berisi teori-teori psikologi mengenai belajar, terutama mengupas bagaimana individu belajar atau melakukan pembelajaran.
Pembahasan selanjutnya adalah mengenai teori belajar itu sendiri. Ada sejumlah teori belajar yang dikemukakan Callahan, Syaodih, dan Soekamto dalam Pidarta yang bila dibuat secara sistematik adalah sebagai berikut :
1. Teori belajar klasik:
a. Disiplin mental theistic
b. Disiplin mental humanistic
c. Naturalis atau aktualisasi diri
d. Apersepsi.
2. Teori belajar modern:
a. R-S Bond atau Asosiasi
b. Pengkondisian (kondisioning) Instrumental
c. Pengkondisian (Kondisioning) Operan
d. Penguatan
e. Kognisi
f. Belajar Bermakna
g. Insight atau Gestalt
h. Lapangan
i. Tanda (sign)
j. Fenomenologi
Semua teori tersebut menurut Pidarta dapat pula di kelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu:
 Behavioris yang mencakup nomor a sampai dengan d.
 Kognisi yang mencakup nomor e sampai dengan j.

Sesungguhnya keempat teori Behaviorisme itu, makin ke belakang merupakan pengembangan dari pendahulunya. Teori-teori tersebut menurut Pidarta sangat bermanfaat untuk mengembangkan tingkah laku-tingkah laku yang nyata seperti hidup teratur, rajin belajar, mencuci tangan sebelum makan, mau kerja bakti, suka olah raga, dan sebagainya.
Sedangkan teori-teori belajar kognisi berguna dalam mempelajari materi-materi yang rumit yang membutuhkan pemahaman, untuk memecahkan masalah, dan untuk mengembangkan ide.

3. Psikologi Sosial
Dalam Pidarta, Hollander menyatakan bahwa psikologi sosial adalah psikologi yang mempelajari psikologi seseorang di masyarakat, yang mengombinasikan cirri-ciri psikologi dengan ilmu sosial untuk mempelajari pengaruh masyarakat terhadap individu dan antarindividu. Dengan demikian psikologi ini akan mencoba melihat keterkaitan masyarakat dengan kondisi psikologi kehidupan individu.
Konsep-konsep penting tentang sosial menurut Pidarta adalah sebagai berikut:
1. Pembentukan kesan pertama
a. Kepribadian orang yang diminati
b. Perilaku orang tersebut
c. Latar belakang situasi waktu mengamati.
2. Persepsi diri sendiri dari perilaku kita yang overt dan persepsi kita terhadap lingkungan, serta banyak dipengaruhi oleh sikap dan perasaan.
3. Sikap muncul bisa secara alami dan dapat juga dengan pengkondisian serta dengan mempelajari sikap para tokoh.
4. Motivasi ditentukan oleh factor-faktor:
a. Minat dan kebutuhan individu
b. Persepsi terhadap tugas yang menantang
c. Harapan sukses.
5. Keintiman hubungan yang disebut penetrasi sosial akan terjadi manakala perilaku antarpribadi diikuti oleh perasaan subyektif.
6. Perilaku agresif disebabkan oleh:
a. Insting berkelahi
b. Gangguan dari pihak lain
c. Putus asa.
Jenis-jenis perilaku agresif adalah:
a. Agresif anti sosial
b. Agresif prososial
c. Agresif sanksi.
7. Altruisme adalah hasil kasih saying yang tidak mengaharapkan balasan.
8. Kesepakatan atau kepatuhan memudahkan proses pembinaan dalam suatu kelompok.
9. Ada sejumlah perbedaan kemampuan dan sifat antara anak laki-laki dengan anak perempuan. Perbedaan itu dismping bersifat alami, juga karena pengalaman dan pendidikan.
10. Peranan pemimpin cukup menentukan keberhasilan tugas-tugas kelompok.


4.Kesiapan Belajar dan Aspek-Aspek Individu
Kesiapan belajar secara umum menurut Connel dalam Pidarta adalah kemampuan seseorang untuk mendapatkan keuntungan dari pengalaman yang ia temukan. Sementara itu kesiapan kognisi bertalian dengan pengetahuan, pikiran, dan kualitas berpikir seseorang dalam menghadapi situasi belajar yang baru. Kemampuan-kemampuan ini bergantung kepada tingkat kematangan intelektual, latar belakang pengalaman, dan cara-cara pengetahuan sebelumnya distruktur.
Sedangkan kesiapan afeksi menurut Connel bergantung kepada kekuatan motif atau kebutuhan berprestasi, orientasi motivasi itu sendiri, dan faktor-faktor situasional yang mungkin dapat membangunkan motivasi.Ciri-ciri motivasi yang mendorong untuk berprestasi adalah mengejar kompetensi, usaha mengaktualisasi diri, dan usaha berprestasi.
Pendekatan lain dapat dilakukan dalam mengembangkan potensi motivasi adalah dengan program intervensi selama anak duduk di TK dan kelas-kelas awal di SD. Intervensi ini bisa dalam bentuk:
 Memperbanyak ragam fasilitas di TK.
 Memberi kesempatan bagi orang tua untuk menyaksikan interaksi yang efektif di TK dan SD.

Bagi pendidik di sekolah, baik intervensi pada umur-umur muda maupun melayani motivasi berprestasi pada anak-anak yang lebih tua perlu dilakukan setiap saat. Setiap motivasi ini merupakan modal pertama bagi anak-anak untuk gemar belajar.
Di samping metode tersebut, masih ada cara untuk membangunkan motivasi. Cara-cara yang dimaksud adalah:
 Memberi kepuasan terhadap kebutuhan-kebutuhan yang dituntut, yang meliputi kebutuhan fisik, kebutuhan diterima oleh kelompok, dan kebutuhan mengembangkan konsep diri.
 Memberikan tugas-tugas yang menantang.
 Mengembangkan kesadaran kontrol dari dalam.

Sesudah mendapatkan informasi tentang kesiapan belajar, baik kesiapan kognisi maupun kesiapan afeksi atau motivasi, kini tiba gilirannya untuk membahas aspek-aspek individu.
Dalam proses pendidikan peserta didik atau warga belajarlah yang harus memegang peranan utama. Sebab mereka adalah individu yang hidup dan mampu berkembang sendiri. Pendidikan harus memperlakukan dan melayani perkembangan mereka secara wajar sesuai dengan kodratnya.
Karena peserta didik atau warga belajar sebagai individu, maka ada pula orang yang menyebutnya sebagai subjek didik. Perlengkapan peserta didik atau warga belajar sebagai subjek dalam garis besarnya menurut Pidarta dapat dibagi menjadi lima kelompok, yaitu:
 Watak
 Kemampuan umum atau IQ
 Kemampuan khusus atau bakat
 Kepribadian
 Latar belakang.

Sesudah mengetahui kelima perlengkapan subjek didik, maka dapat dibayangkan betapa banyaknya macam subjek yang harus dihadapi oleh pendidik. Dengan demikian sekali lagi dapat dinyatakan bahwa pendidikan akan menghadapi banyak sekali ragam subjek, yang hampir dapat dikatakan bahwa tidak ada yang persis sama satu dengan yang lain. Itulah sebabnya dalam pendidikan sering disebut bahwa subjek didik adalah unik.
Walaupun setiap individu dikatakan unik, namun menurut Pidarta aspek-aspek individu mereka adalah sama, sebab aspek-aspek ini dikembangkan oleh para ahli. Pendapat mereka tentang struktur jiw manusia pada umumnya ada kesamaan satu dengan yang lain. Mereka membagi jiwa itu menjadi tiga fungsi yaitu afeksi, kognisi, dan psikomotor. Namun ada juga yang membagi afeksi menjadi dua yaitu perasaan dan kemauan, sehingga terdapat empat fungsi jiwa yaitu perasaan, kemauan, pikiran, dan keterampilan.
Dalam kaitannya dengan tugas pendidikan terhadap usaha membina peserta didik, terutama di Indonesia yang menginginkan perkembangan total ada baiknya perlu mempertimbangkan segi jasmani yang juga dikembangkan atau ditumbuhkan. Dengan demikian fungsi jiwa dan tubuh atau aspek-aspek individu yang akan dikembangkan adalah sebagai berikut:


1. Rohani
a. Umum:
1) agama
2) perasaan
3) kemauan
4) pikiran
b. Sosial:
1) kemasyarakatan
2) cinta tanah air
2. Jasmani
a. Keterampilan
b. Kesehatan
c. Keindahan tubuh.

5. Dampak Konsep Pendidikan
Tinjauan tentang psikologi perkembangan, psikologi belajar, psikologi sosial, dan kesiapan belajar serta aspek-aspek individu, memberikan dampak kepada konsep pendidikan. Dampak itu sebagian besar dalam bidang kurikulum sebab materi pelajaran dan proses belajar mengajar itu harus sejalan dengan perkembangan, cara belajar, cara mereka mengadakan kontak sosial, dan kesiapan mereka belajar. Dampaknya kepada konsep pendidikan adalah sebagai berikut:
1. Psikologi perkembangan yang bersifat umum, yang berorientasi pada afeksi, dan pada kognisi, semuanya memberi petunjuk kepada pendidik mengenai bagaimana seharusnya ia menyiapkan dan mengorganisasi materi pendidikan serta bagaimana membina anak-anak mereka mau belajar dengan suka rela.
2. Psikologi belajar
a. Yang klasik
 Disiplin mental bermanfaat untuk menghafal perkalian dan melatih soal-soal
 Naturalis/Aktualisasi diri bermanfaat untuk pendidikan seumur hidup.
b. Behavioris bermanfaat atau cocok untuk membentuk perilaku nyata, seperti mau menyumbang, giat bekerja, gemar menyanyi, dan sebagainya.
c. Kognisi cocok untuk mempelajari materi-materi pelajaran yang lebih rumit yang membutuhkan pemahaman, untuk memecahkan masalah dan, untuk berkreasi menciptakan sesuatu bentuk atau ide baru.
3. Psikologi sosial
a. Persepsi diri atau konsep tentang diri sendiri ternyata bersumber dari perilaku yang overt dan persepsi kita terhadap lingkungan, dan banyak dipengaruhi oleh sikap atau perasaan kita.
b. Pembentukan sikap bisa secara alami, dikondisi, dan meniru sikap para tokoh.
c. Sama halnya dengan sikap, motivasi anak-anak juga perlu dikembangkan pada saat yang memungkinkan.
d. Hubungan yang intim diperlukan dalam proses konseling, pembimbingan dan belajar dalam kelompok.
e. Pendidik perlu membendung perilaku agresif anti sosial, tetapi mengembangkan agresif prososial dan sanksi.
f. Pendidik juga perlu mengembangkan kemampuan memimpin di kalangan anak-anak.
4. Kesiapan belajar yang bersifat afektif dan kognitif perlu diperhatikan oleh pendidik agar materi yang dipelajari anak-anak dapat dipahami dan diinternalisasi dengan baik.
5. Kesembilan aspek individu harus diberi perhatian yang sama oleh pendidik serta dilayani secara berimbang.
6. Wujud perkembangan total atau berkembang seutuhnya memenuhi tiga kriteria, yaitu:

a. Semua potensi berkembang secara proporsional atau berimbang atau harmonis.
b. Potensi-potensi itu berkembang secara optimal.
c. Potensi-potensi berkembang secara integratif.

D. Penutup
Psikologi atau ilmu jiwa adalah ilmu yang mempelajari jiwa manusia. Jiwa manusia merupakan sebuah bagian penting dalam kehidupan manusia. Manusia dikatakan sempurna jika memiliki jiwa dan raga yang sehat dan sempurna. Apabila manusia hanya memiliki raga saja tanpa memiliki jiwa, maka ia dikatakan sebagai mayat. Begitu pula sebaliknya, apabila hanya jiwa saja tanpa raga, maka ia tidak dapat dinamakan sebagai manusia. Artinya, manusia sempurna harus memiliki raga dan jiwa yang sehat dan sempurna.
Untuk dapat tercapainya kesuksesan belajar, perlu penerapan dari komponen-komponen psikologi pendidikan yaitu:
 Psikologi perkembangan
 Psikologi belajar
 Psikologi sosial
 Kesiapan belajar dan aspek-aspek individu
 Dampak konsep pendidikan











Referensi


Bobbi DePotter, dkk. 2000. Quantum Teaching. Bandung: Kaifa.

Djamarah, Syaiful Bahri. 2002. Psikologi Belajar. Jakarta: Rineka Cipta.

Hamalik, Oemar. 2002. Psikologi Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru Algesindo.

Miarso, Yusufhadi. 2007. Menyemai Benih Teknologi Pendidikan. Jakarta : Kencana Prenada Media Group.

Prawiradilaga, Dewi Salma dan Eveline Siregar. 2007. Mozaik Teknologi Pendidikan. Jakarta : Universitas Negeri Jakarta.

Seels, Barbara B dan Richey, Rita C. 1994. Teknologi Pembelajaran Definis dan Kawasannya. Jakarta : Universitas Negeri Jakarta.

Sudjana, Nana. 1997. Teknologi Pengajaran. Bandung: Sinar Baru.


ooo 000 ooo













Tidak ada komentar:

Posting Komentar