Selasa, 29 Desember 2009

APLIKASI TEKNOLOGI PENDIDIKAN DALAM PEMERATAAN PENDIDIKAN


A. Pendahuluan
Sejak dasawarsa 1970-an, masalah pemberian kesempatan pendidikan mulai dari Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi telah mendapat perhatian yang sangat intens dari pemerintah melalui upaya-upaya perluasan kesempatan bagi masyarakat untuk memperoleh pendidikan (Perspektif kelembagaan formal). Hal ini seiring dengan makin berkembangnya pemikiran bahwa pendidikan merupakan faktor yang sangat penting dalam pembangunan bangsa.
Dalam pemahaman teori Human Capital yang dipelopori oleh Theodore W. Schultz (dalam Suharsaputra, 2007), manusia merupakan suatu bentuk kapital sebagaimana bentuk kapital-kapital lainnya yang sangat menentukan bagi pertumbuhan produktivitas suatu bangsa. Pendidikan merupakan salah satu bentuk investasi Sumber Daya Manusia, dengan pendidikan seseorang dapat memperluas pilihan-pilihan bagi kehidupannya baik dalam profesi, pekerjaan, maupun dalam kegiatan-kegiatan lainnya guna meningkatkan kesejahteraan hidupnya.
Selain pendekatan teori human capital ada dua pendekatan lain yaitu teori fungsionalisme dan teori empirisme. Teori fungsionalisme yang dipelopori oleh Burton Clark (dalam Suharsaputra, 2007), menekankan pada preservation of human resources atau pemeliharaan sumber daya manusia, dimana dalam upaya tersebut perhatian pada perubahan teknologi sangat menonjol sehingga diperlukan pengembangan sistem pendidikan dan pemilihan program-program pendidikan disamping perlunya upaya perluasan pendidikan yang lebih merata dalam konteks interaksi antara lembaga pendidikan dengan lembaga-lembaga lainnya dalam masyarakat termasuk perkembangan teknologi yang terjadi dengan cepat.
Sementara itu pendekatan teori empirisme (Suharsaputra, 2007) menekankan pada perlunya diagnosis terhadap masalah pemerataan pendidikan dengan mengkombinasikan antara metodologi dan substansi (Methodological empiricism). Menurut pemahaman teori ini terjadinya ketidakmerataan kesempatan pendidikan merupakan hasil dari perselisihan antara kelas-kelas sosial yang berbeda kepentingan, kelas-kelas sosial yang dianggap elit lebih suka mempertahankan status quo, sementara kelas-kelas populis terus berjuang guna mendapatkan kesempatan memperoleh pendidikan.
Dari ketiga pendekatan tersebut, terlihat adanya perbedaan orientasi dalam melihat masalah pendidikan, namun satu hal yang cukup menonjol adalah berkaitan dengan pentingnya pendidikan bagi kehidupan manusia yang berimplikasi pada perlunya upaya pemerataan pendidikan baik itu sebagai modal/investasi manusia, sebagai pemeliharaan terhadap sumber daya manusia, maupun sebagai aktivitas yang dialami sehari-hari yang terus menerus beninteraksi dengan lingkungan baik sosiologis, ekonomis, maupun lingkungan teknologis. Semua implikasi ini memerlukan perhatian yang sungguh-sungguh dari pembuat kebijakan guna menciptakan situasi yang kondusif bagi warga masyarakat berpartisipasi lebih aktif dan bertanggungjawab dalam dimensi pendidikan yang lebih luas.
Pemerataan pendidikan dalam arti pemerataan kesempatan untuk memperoleh pendidikan telah lama menjadi masalah yang mendapat perhatian, terutama di negara-negara sedang berkembang. Hal ini tidak terlepas dari makin tumbuhnya kesadaran bahwa pendidikan mempunyai peran penting dalam pembangunan bangsa, seiring juga dengan berkembangnya demokratisasi pendidikan dengan semboyan education for all.
Sejak tahun 1984, pemerintah Indonesia secara formal telah mengupayakan pemerataan pendidikan Sekolah Dasar, dilanjutkan dengan wajib belajar pendidikan sembilan tahun mulai tahun 1994. Upaya-upaya ini nampaknya lebih mengacu pada perluasan kesempatan untuk memperoleh pendidikan. Di samping itu pada tahapan selanjutnya pemberian program beasiswa menjadi upaya yang cukup mendapat perhatian dengan mendorong keterlibatan masyarakat melalui Gerakan Nasional Orang Tua Asuh. Program beasiswa ini semakin intensif ketika terjadi krisis ekonomi, dan dewasa ini dengan Program (Bantuan Operasional Sekolah) BOS untuk Pendidikan dasar, hal ini menunjukan bahwa pemerataan pendidikan menuntut pendanaan yang cukup besar tidak hanya berkaitan dengan penyediaan fasilitas tapi juga pemeliharaan siswa agar tetap bertahan mengikuti pendidikan di sekolah.
Program BOS yang selenggarakan oleh pemerintah, merupakan bentuk perhatian pemerintah akan pentingnya pemerataan pendidikan bagi setiap orang. Hal itu dapat dilihat dengan bebasnya biaya sekolah untuk jenjang SD,SMP dan SMU, Meskipun belum dapat terealisasikan sepenuhnya, akan tetapi hal itu sudah memperlihatkan kemajuan yang signifikan.
Dalam makalah ini akan dibahas tentang aplikasi teknologi pendidikan dalam pemerataan pendidikan, khususnya Pendidikan Luar Sekolah (PLS).

B. Pemerataan Kesempatan Belajar
Bagi bangsa yang ingin maju, pendidikan merupakan sebuah kebutuhan. Sama dengan kebutuhan perumahan, sandang, dan pangan. Bahkan, ada bangsa atau yang terkecil adalah keluarga, pendidikan merupakan kebutuhan utama. Artinya, mereka mau mengurangi kualitas perumahan, pakaian, bahkan makanan, demi melaksanakan pendidikan anak-anaknya. Seharusnya negara juga demikian. Apabila suatu negara ingin cepat maju dan berhasil dalam pembangunan, prioritas pembangunan negara itu adalah pendidikan. Jika perlu, sektor-sektor yang tidak penting ditunda dulu dan dana dipusatkan pada pembangunan pendidikan.
Negara kita telah lebih dari 20 tahun melaksanakan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 6 Tahun dan telah 10 tahun melaksanakan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun. Maksud dan tujuan pelaksanaan wajib belajar adalah memberikan pelayanan kepada anak bangsa untuk memasuki sekolah dengan biaya murah dan terjangkau oleh kemampuan masyarakat banyak. Apabila perlu, pendidikan dasar enam tahun seharusnya dapat diberikan pelayanan secara gratis karena dalam pendidikan dasar enam tahun atau sekolah dasar kebutuhan mendasar bagi warga negara mulai diberikan. Di sekolah dasar inilah anak bangsa diberikan tiga kemampuan dasar, yaitu baca, tulis, dan hitung, serta dasar berbagai pengetahuan lain. Setiap wajib belajar pasti akan dimulai dari jenjang yang terendah, yaitu sekolah dasar.
Seperti diketahui, sebagian besar keadaan sosial ekonomi masyarakat kita tergolong tidak mampu. Dengan kata lain, mereka masih dililit predikat miskin. Mulai Inpres Nomor 10 Tahun 1971 tentang Pembangunan Sekolah Dasar dan inpres- inpres selanjutnya, negeri ini telah berusaha memberikan pendidikan murah untuk anak bangsanya. Puluhan ribu gedung sekolah dasar telah dibangun dan puluhan ribu guru sekolah dasar diangkat agar pemerataan kesempatan belajar untuk jenjang sekolah dasar dapat dilaksanakan dengan murah, dari kota sampai ke desa-desa. Semua warga negara, kaya atau miskin, diberi kesempatan yang sama untuk menikmati pendidikan dasar enam tahun yang biayanya dapat dijangkau golongan miskin. Kejadian itu dapat dinikmati dalam jangka waktu cukup lama, yaitu sejak dicetuskannya Wajib Belajar Pendidikan Dasar 6 Tahun tahun 1984. Sayang, gema wajib belajar itu makin hari makin melemah karena komitmen bangsa ini pada wajib belajar tidak seperti saat dicanangkan. Jika selama ini kita melihat pendidikan tinggi itu mahal, sekolah menengah juga mahal, SMP juga mahal, sekarang kita saksikan memasuki sekolah dasar pun sudah mahal.
Kini kita melihat, hampir semua jenjang sekolah negeri sudah menjadi lembaga komersialisasi karena yang berbicara tidak lagi persyaratan-persyaratan yang ditentukan oleh kurikuler, tetapi justru besarnya biaya masuk untuk sekolah dasar. Jika untuk masuk sekolah dasar ditentukan oleh umur, maka seorang anak yang sudah berumur tujuh tahun atau lebih wajib diterima sebagai murid sekolah dasar. Ini adalah ketentuan yang tidak boleh ditawar karena ketentuan untuk masuk sekolah dasar adalah berdasarkan umur.
Agaknya pelaksanaan wajib belajar negeri ini adalah slogan yang selalu didengung-dengungkan. Padahal, dalam kenyataannya, pelaksanaan wajib belajar dihalang-halangi, karena untuk masuk sekolah dasar pun kini harus membayar mahal sehingga masyarakat miskin tidak mungkin dapat membayarnya. Maka terjadilah hal yang sebenarnya tidak perlu terjadi apabila semua pihak, terutama guru dan kepala-kepala sekolah, menghayati tujuan wajib belajar itu. Bagi masyarakat dan orangtua yang kaya, anaknya akan dapat bersekolah di sekolah negeri, sedangkan yang miskin akan gagal dan tidak bersekolah.
Untuk masuk ke sekolah swasta, masyarakat miskin tidak mungkin mampu membayarnya. Akibatnya, banyak anak bangsa yang tidak akan memperoleh kesempatan memperoleh pendidikan. Sungguh satu hal yang ironis. Sebab, pada negara yang lebih 60 tahun usianya ini, banyak anak bangsanya akan menjadi buta huruf karena dililit kemiskinan dan negeri ini akan terpuruk karena kualitas sumber daya manusianya tidak mampu bersaing dengan Negara–negara yang lain.

C. Pendidikan Luar Sekolah
Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 13, menyebutkan bahwa jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, informal dan nonformal. Namun demikian secara konseptual jalur informal sesungguhnya bagian dari pendidikan nonformal, akan tetapi bisa saja terjadi dijalur pendidikan formal.
Di Indonesia Pendidikan Luar Sekolah (PLS) memiliki sejarah yang panjang dan sejalan dengan sejarah tersebut nama PLS berubah-ubah terus. Sejak PLS dinamai Pendidikan masyarakat, kemudian berubah menjadi PLS dan sekarang sesuai UU Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003, pasal 13 dinamai Pendidikan Nonformal. Sesuai dengan fungsi PLS yaitu sebagai substitusi, suplemen dan komplemen pendidikan sekolah, PLS mempunyai cakupan garapan yang sangat luas. Di negara maju yang kualitas jalur sekolahnya sudah baguspun peranan PLS masih tetap besar, apalagi di Indonesia dimana sistem pendidikan sekolahnya masih carut marut seperti saat ini. Namun dalam kenyataannya PLS belum dimanfaatkan sesuai dengan potensi dan kemampuannya yang cukup besar sehingga kontribusinya juga belum optimal.
Jalur PLS merupakan pendidikan yang diselenggarakan di luar sekolah melalui kegiatan belajar mengajar yang tidak harus berjenjang dan bersinambungan. Satuan PLS meliputi kursus/lembaga pendidikan keterampilan dan satuan pendidikan yang sejenis. Secara umum, manfaat PLS (Prawiradilaga, 2007:225) antara lain :
• Mempercapat program wajib belajar pendidikan dasar
• Memperluas dan menciptakan lapangan kerja
• Terhadap jalur sekolah dapat menjadi suplemen, komplemen dan substitusi (memberikan pendidikan yang tidak dapat dilakukan jalur sekolah)
• Menyiapkan tenaga kerja yang terampil dan siap kerja
• Membentuk manusia yang mandiri dan percaya diri
• Mencegah urbanisasi
• Memberantas buta huruf

Dari beberapa manfaat PLS tersebut dapat dikatakan tujuan dari PLS adalah sebagai berikut :
• Melayani warga belajar supaya dapat tumbuh dan berkembang sedini mungkin dan sepanjang hayatnya guna meningkatkan martabat dan mutu kehidupannya.
• Membina warga belajar agar memiliki pengetahuan ketrampilan dan sikap mental yang diperlukan untuk mengembangkan diri, bekerja mencari nafkah atau melanjutkan ke tingkat dan atau jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
• Memenuhi kebutuhan belajar masyarakat yang tidak dapat dipenuhi dalam jalur pendidikan sekolah.
Jenis PLS terdiri atas: 1) pendidikan umum; 2) pendidikan keagamaan; 3) pendidikan jabatan kerja; 4) pendidikan kedinasan; dan 5) pendidikan kejuruan. PLS dapat diselenggarakan oleh Pemerintah, perorangan atau sekelompok Warga Negara Indonesia atau badan hukum swasta yang berkedudukan di Indonesia dan tunduk kepada hukum Indonesia. Lembaga internasional atau badan/lembaga swasta asing di wilayah Republik Indonesia dapat menyelenggarakan PLS dengan ketentuan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan wajib mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kursus PLS yang diselenggarakan masyarakat (Diklusemas) didaftarkan pada Dinas Pendidikan Kecamatan dan mendapat izin penyelenggaraan dari Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota. Kursus PLS yang diselenggarakan masyarakat adalah satuan PLS yang menyediakan berbagai jenis pengetahuan, keterampilan dan sikap mental bagi warga belajar yang memerlukan bekal dalam pengembangan diri, bekerja mencari nafkah dan melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. Kursus dilaksanakan oleh dan untuk masyarakat dengan swadaya dan swadana masyarakat. Seluruh program kursus Diklusemas dikelompokkan ke dalam sepuluh rumpun pendidikan yaitu: kerumahtanggaan, kesehatan, keolahragaan, pertanian, kesenian, kerajinan dan industri, teknik dan perambahan, jasa, bahasa dan khusus.
Di tengah krisis ekonomi seperti sekarang, kursus/lembaga pendidikan keterampilan ini barangkali harus lebih dikedepankan. Kegiatan kursus bukan hanya memberi harapan pada anak putus sekolah yang sulit mencari kerja tetapi juga memberikan jalan bagi banyaknya jumlah lulusan SLTA yang tak melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi sehingga lembaga kursus selalu mendapat tempat. Di tangan para pengelolanya, lembaga pendidikan ini bisa bergerak cepat mengikuti irama perkembangan dan tuntutan yang terjadi di masyarakat.
Begitu cepatnya antisipasi yang dilakukan para penyelenggara kursus atas tuntutan masyarakat, sangat boleh jadi, lembaga pendidikan nonformal ini tidak begitu berat terkena pukulan akibat krisis ekonomi. Menurut mereka, lulusan SMTA yang akan memasuki perguruan tinggi perlu berpikir ulang, baik mengenai biaya maupun lama waktu belajar yang harus ditempuh. Apalagi, setelah selesai kuliah, para lulusan perguruan tinggi pun belum tentu mudah mendapatkan pekerjaan.
Meski kursus masih dipandang sebelah mata, anak tiri dalam sistem pendidikan di Indonesia itu kini telah tumbuh menjadi sebuah bidang usaha yang nyaris tanpa batas. Tidak sedikit perguruan tinggi swasta bercikal bakal dari kursus. Lembaga-lembaga kursus di Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir tumbuh sangat pesat dan berkembang menjadi industri mimpi yang menggiurkan. Banyak warga masyarakat yang rela membayarkan uangnya beratus ribu atau jutaan rupiah sekadar untuk mewujudkan impian. Bahwa kemudian mimpi indah itu tidak terwujud, adalah kenyataan lain yang tidak pernah disesali.
Terlepas dari keberhasilan sejumlah lembaga kursus berkembang menjadi industri jasa yang cukup menjanjikan, masih lebih banyak lembaga kursus yang berjalan terseok-seok. Begitu banyak kursus yang hidupnya hanya seumur jagung. Menurut pengurus Himpunan Penyelenggara Kursus Indonesia (PTS Online, 2007) anggota mereka mencapai 25.000 lembaga kursus yang terbagi dalam 10 rumpun dengan 160 jenis keterampilan. Berapa jumlah sebenarnya kursus yang ada di Indonesia mungkin tidak akan pernah terjawab karena demikian banyak kursus yang berdiri dan ditutup dalam waktu relatif singkat.
Berdasarkan fungsinya, jenis-jenis lembaga kursus itu dapat dikategorikan menjadi tiga yaitu:
1. Sejenis Bimbingan Tes/Belajar yang bertujuan meningkatkan kemampuan belajar melalui pelajaran tambahan untuk bidang-bidang tertentu seperti IPA, matematika, bahasa Inggris, dan lain-lain dengan sasaran untuk semua pelajar SD-SMTA. Tapi ada yang khusus untuk pelajar pada tingkat tertentu saja, misalnya kelas III SMTA yang akan mengikuti tes UMPTN.
2. Kursus-kursus Keterampilan yang bertujuan memberikan atau meningkatkan keterampilan mengetik, kecantikan, bahasa asing, akuntansi, montir, menjahit, sablon, babysitter, dan lain-lain. Sasaran lembaga ini mayoritas adalah para lulusan SMP dan SMTA yang memerlukan sertifikat keterampilan untuk mencari kerja.
3. Pengembangan Profesi, seperti kursus sekretaris atau humas perusahaan, akuntan publik, kepribadian, dan lain-lainnya. Sasarannya tamatan SMTA sampai perguruan tinggi, dari yang belum bekerja sampai yang sudah bekerja, namun ingin meningkatkan profesionalismenya. Jenis ketiga ini lebih ke arah pembentukan image dalam masyarakat, bukan hanya sekadar memberikan keterampilan teknis saja. Karena itu dari segi waktu pelaksanaan kursus lebih panjang (antara enam bulan sampai dua tahun).

Selain banyak dan beragamnya jenis lembaga kursus, pembinaan terhadap lembaga ini sering menjadi masalah. Dukungan pemerintah terhadap penyelenggaraan PLS selama ini sangat minim. Padahal lembaga kursus membutuhkan dukungan yang lebih besar agar bisa berkembang, terutama menghadapi era global di mana akan terbuka peluang bagi lembaga-lembaga kursus asing masuk ke Indonesia. Hal ini ditambah dengan kenyataan bahwa selama ini ada kesan lembaga kursus diperebutkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan Departemen Tenaga Kerja. Akibatnya, dalam pembinaan maupun perizinan terjadi tumpang-tindih antara keduanya.
Untuk mengatasi hal ini, pemerintah kemudian mengeluarkan ketentuan baru. Kebijakan baru di bidang pendidikan dan pelatihan ini memberikan penegasan tentang perbedaan antara kursus yang berada di bawah wewenang Departemen Pendidikan Nasional dan latihan kerja yang berada di bawah Departemen Tenaga Kerja. Kursus adalah PLS yang program-programnya diadakan untuk mereka yang belum ada kejelasan tempat kerja yang akan menampung. Sedangkan pelatihan kerja adalah pendidikan pelatihan untuk mengisi lowongan kerja tertentu.
Menyusul dikeluarkannya ketentuan baru dalam pendidikan dan pelatihan ini, akan segera dilakukan standardisasi dan akreditasi untuk jenis-jenis kursus tertentu. Badan akreditasi kursus ini akan terdiri dari unsur-unsur Departemen Pendidikan Nasional, asosiasi profesi, dan industri. Namun demikian, sulit diharapkan akreditasi dapat menjangkau seluruh lembaga kursus yang jenisnya berbagai macam, mulai dari kursus sekretaris hingga kursus membuat kue. Dari sekitar 25.000 lembaga kursus, lebih separuhnya masih tergolong lembaga kursus kecil.
Sudah sepantasnya kursus tidak dianaktirikan lagi dalam sistem pendidikan nasional. Dengan keanekaragamannya, lembaga ini mempunyai sifat dan tujuan yang sama, yakni sebagai penunjang atau pelengkap dari sistem persekolahan yang ada. Sebagai pemacu karier bagi yang sudah bekerja, dan sebagai bekal keterampilan bagi yang belum bekerja. Intervensi pemerintah dalam batas-batas tertentu memang diperlukan, khususnya untuk memacu mutu tenaga pengajar di lembaga-lembaga tersebut.

D. Kontribusi Pendidikan Luar Sekolah dalam Pembangunan Pendidikan Nasional/SDM
Kita menyadari bahwa SDM kita masih rendah, dan tentunya kita masih punya satu sikap yakni optimis untuk dapat mengangkat SDM tersebut. Salah satu pilar yang tidak mungkin terabaikan adalah melalui pendidikan nonformal atau lebih dikenal dengan PLS.
Seperti kita ketahui, bahwa rendahnya SDM kita tidak terlepas dari rendahnya tingkat pendidikan masyarakat, terutama pada usia sekolah. Rendahnya kualitas SDM tersebut disebabkan oleh banyak hal, misalnya ketidakmampuan anak usia sekolah untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, sebagai akibat dari kemiskinan yang melilit kehidupan keluarga, atau bisa saja disebabkan oleh oleh angka putus sekolah, hal yang sama disebabkan oleh factor ekonomi
Oleh sebab itu, perlu menjadi perhatian pemerintah melalui semangat otonomi daerah adalah mengerakan program PLS tersebut, karena UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional secara lugas dan tegas menyebutkan bahwa PLS akan terus ditumbuhkembangkan dalam kerangka mewujudkan pendidikan berbasis masyarakat, dan pemerintah ikut bertanggungjawab kelangsungan PLS sebagai upaya untuk menuntaskan wajib belajar 9 tahun.
Dalam kerangka perluasan dan pemerataan PLS, secara bertahap dan bergulir akan terus ditingkatkan jangkauan pelayanan serta peran serta masyarakat dan pemerintah daerah untuk menggali dan memanfaatkan seluruh potensi masyarakat untuk mendukung penyelenggaraan PLS. Rencana Strategis untuk mendukung penyelenggaraan PLS menurut Isjoni (2004) baik untuk tingkat propinsi maupun kabupaten kota adalah :
1. Perluasan pemerataan dan jangkauan pendidikan anak usia dini;
2. Peningkatan pemerataan, jangkauan dan kualitas pelayanan Kejar Paket A setara SD dan B setara SLTP;
3. Penuntasan buta aksara melalui program Keaksaraan Fungsional;
4. Perluasan, pemerataan dan peningkatan kualitas pendidikan perempuan (PKUP), Program Pendidikan Orang tua (Parenting);
5. Perluasan, pemerataan dan peningkatan kualitas pendidikan berkelanjutan melalui program pembinaan kursus, kelompok belajar usaha, magang, beasiswa/kursus; dan
6. Memperkuat dan memandirikan Pendidikan Keterampilan Berbasis Masyarakat (PKBM) yang telah melembaga saat ini di berbagai daerah.

Selain itu menurut Isjoni (2004), dalam kaitan dengan upaya peningkatan kualitas dan relevansi pendidikan, maka program PLS lebih berorientasi pada kebutuhan pasar, tanpa mengesampingkan aspek akademis. Oleh sebab itu Program PLS mampu meningkatkan pengetahuan, keterampilan, profesionalitas, produktivitas, dan daya saing dalam merebut peluang pasar dan peluang usaha, maka yang perlu disusun Rencana strategis adalah :
1. Meningkatkan mutu tenaga kependidikan PLS;
2. Meningkatkan mutu sarana dan prasarana dapat memperluas pelayanan PLS, dapat meningkatkan kualitas proses dan hasil;
3. Meningkatkan pelaksanaan program kendali mutu melalui penetapan standard kompetensi, standard kurikulum untuk kursus;
4. Meningkatkan kemitraan dengan pihak berkepentingan (stakholder) seperti Dudi, asosiasi profesi, lembaga diklat; serta
5. Melaksanakan penelitian kesesuain program PLS dengan kebutuhan masyarakat dan pasar. Demikian pula kaitan dengan peningkatan kualitas manajemen pendidikan.

Strategi PLS dalam rangka era otonomi daerah, maka rencana strategi yang dilakukan adalah :
1. Meningkatkan peran serta masyarakat dan pemerintah daerah;
2. Pembinaan kelembagaan PLS;
3. Pemanfaatan/pemberdayaan sumber-sumber potensi masyarakat;
4. Mengembangkan sistem komunikasi dan informasi di bidang PLS;
5. Meningkatkan fasilitas di bidang PLS

PLS menggunakan pembelajaran bermakna, artinya lebih berorientasi dengan pasar, dan hasil pembelajaran dapat dirasakan langsung manfaatnya, baik oleh masyarakat maupun peserta didik itu sendiri. Di dalam pengembangan PLS, yang perlu menjadi perhatian bahwa, dalam usaha memberdayakan masyarakat kiranya dapat membaca dan merebut peluang dari otonomi daerah, PLS pada era otonomi daerah sebenarnya diberi kesempatan untuk berbuat, karena mustahil peningkatan dan pemberdayaan masyarakat menjadi beban pendidikan formal saja, akan tetapi pendidikan formal juga memiliki tanggungjawab yang sama. .
Oleh sebab itu sasaran PLS lebih memusatkan pada pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan berkelanjutan, dan perempuan. Selanjutnya PLS harus mampu membentuk SDM berdaya saing tinggi, dan sangat ditentukan oleh SDM muda (dini), dan tepatlah PLS sebagai alternative di dalam peningkatan SDM ke depan. PLS menjadi tanggung jawab masyarakat dan pemerintah sejalan dengan Pendidikan Berbasis Masyarakat, penyelenggaraan PLS lebih memberdayakan masyarakat sebagai perencana, pelaksanaan serta pengendali, PLS perlu mempertahankan falsafah lebih baik mendengar dari pada didengar, Pemerintah daerah propinsi, kabupaten dan kota secara terus menerus memberi perhatian terhadap PLS sebagai upaya peningkatan SDM, dan PLS sebagai salah satu solusi terhadap permasalahan masyarakat, terutama anak usia sekolah yang tidak mampu melanjutkan pendidikan, dan anak usia putus sekolah..

E. Model Pendidikan Luar Sekolah Hasil Pemikiran Asah Pena
Dalam beberapa tahun terakhir, homeschooling (HS) merebak di beberapa kota di Indonesia. Tak hanya untuk kalangan berada, sekolah rumah itu juga bakal bisa diterapkan terhadap keluarga tak mampu. Belum ada data pasti berapa jumlah anak yang belajar atau bersekolah di rumah alias ber-homeschooling di Indonesia. Namun, saat ini kian banyak orang tua yang berminat memberikan pembelajaran di rumah. Apalagi HS sebagai salah satu pendidikan alternative sudah terakomodasi dalam Sistem Pendidikan Nasional.
Undang-Undang Sisdiknas pasal 27 ayat 1 Di sana disebutkan, "Kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri". Ayat 2 menyebutkan, "Hasil pendidikan sebagaimana dimaksud ayat 1 diakui sama dengan pendidikan formal dan nonformal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan". Melalui payung hukum itu, mereka yang belajar di rumah sudah tak perlu was-was tentang legalitas sistem pembelajaran mereka.
Namun demikian, citra homeschooling di masyarakat masih beragam. Sebagian menganggap homeschooling mahal. Pasalnya, berbagai macam fasilitas harus dipenuhi sendiri. Misalnya alat-alat laboratorium yang jamaknya disediakan sekolah. Menanggapi hal itu, Daniel M. Rosyid, ketua Dewan Pendidikan Jawa Timur dalam artikel Pontianak Post Online (Andriayani, 2007), menegaskan bahwa siapa pun dapat ber-homeschooling. Menurutnya, model pendidikan rumah itu justru hadir bagi mereka yang tak mampu dalam hal finansial. Misalnya, keluarga miskin (gakin). Sebab, anak-anak miskin tidak perlu mengeluarkan ongkos seragam sekolah, SPP, maupun uang gedung. Dengan demikian, jatuhnya biaya lebih murah dibandingkan pendidikan formal.
Persoalannya, tidak semua keluarga dari kalangan kurang mampu mengetahui cara untuk mendidikan anaknya dengan model homeschooling. Padahal, saat ini sudah ada lembaga yang menfasilitasi hal tersebut. Di Jawa Timur, salah satu lembaga itu bernama Asosiasi Sekolah Rumah Pendidikan Alternatif (Asah Pena). Beberapa waktu lalu, lembaga yang diketuai Daniel itu telah meneken MoU (memorandum of understanding) dengan Dirjen Pendidikan Luar Sekolah-Depdiknas.
Dirjen PLS menyisihkan 10 persen anggaran mereka untuk digunakan membantu program Asah Pena. Sasarannya adalah program yang membidik pendidikan anak, terutama mereka yang datang dari ekonomi lemah. Misalnya, anak-anak yang mengalami drop out (DO) di suatu daerah akan diberikan bantuan lewat model pembelajaran sekolah rumah. Kegiatan belajar itu bisa dilaksanakan dengan secara berkelompok
Homescooling tidak hanya diperuntukkan bagi anak-anak dari keluarga berduit. Justru prioritas nantinya HS membantu untuk menuntaskan program wajib belajar pendidikan dasar. Asah Pena juga akan membantu memfasilitasi mereka yang memilih HS untuk didaftarkan sebagai komunitas belajar pendidikan non formal. Dengan demikian, pesertanya bisa mengikuti ujian nasional kesetaraan paket A (setara SD), paket B (setara SMP), dan paket C (setara SMA).
Dalam Asah Pena juga berkumpul para guru dan mahasiswa yang siap membantu. Pasalnya, saat ini banyak yang masih salah menafsirkan homeschooling. Meskipun belajar di rumah, namun esensi pendidikan tetap sama. Mereka harus mengacu pada kurikulum standar nasional. Ini mungkin yang masih harus ditekankan pada masyarakat. Asah Pena sendiri telah berdiri sejak 4 Mei 2006 di kantor Depdiknas Jakarta. Asosiasi ini membidani dan mengakomodasikan berbagai kegiatan pendidikan di tanah air oleh beberapa tokoh dan praktisi pendidikan.

F. Peranan Teknologi Pendidikan dalam Pendidikan Luar Sekolah
1. Perlunya Perubahan Paradigma Pendidikan Luar Sekolah
Bagi negara maju dan negara berkembang, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta sistem informasi yang begitu cepat mendorong berbagai aspek, khususnya sistem pendidikan untuk mengubah visi, misi dan strateginya secara revolusioner. Revolusi pendidikan berarti secara totalitas menjabarkan konsep Teknologi Pendidikan (TP) dalam berbagai bentuk dan tingkatan implementasinya, sehingga efisiensi dan efektivitas penggunaan sumber daya yang ketersediannya sangat terbatas dapat tercapai, dan pendidikan yang sesuai dengan kebituhan masyarakat dapat disediakan.
Dilihat dari karakteristik TP dan PLS (yang didasarioleh andragogi), ternyata cukup banyak persamaan antar keduanya dan terbukti secara empirik bahwa PLS merupakan salah satu bentuk implementasi dari konsep TP. Adapun keterkaitan TP dan PLS menurut Sujarwo (dalam Prawiradilaga, 2007:219) adalah sebagai berikut :
Komponen Pendidikan Teknologi Pendidikan Pendidkan Luar Sekolah
1. Persepsi terhadap sasaran didik
Ada dua kelompok :
a. Individu yang memiliki waktu penuh untuk belajar
b. Individu yang memiliki waktu belajar terbatas
Individu yang :
a. Mandiri dan potensial
b. Mampu dan efektif dalam belajar mandiri
c. Unik yang berbeda antara satu dengan yang lain
Individu yang :
a. Sebagian besar waktunya untuk bekerja
b. Mampu mengatur diri
c. Mampu dan lebih senang belajar mandiri
d. Tidak suka diintervensi dalam menentukan waktu belajarnya

2. Metode pembelajaran yang tepat Mengutamakan metode pembelajaran non konvensional, antara lain: belajar mandiri, belajar kelompok/diskusi, belajar jarak jauh, studi kasus
Karena kesibukannya, belajar mandiri, kelompok diskusi, jarak jauh dan studi kasus lebih tepat digunakan
3. Sumber belajar 1. Berbentuk media pendidikan seperti: e-learning, media AV, modul, TV, radio dan komputer interaktif, 2. Disusun berdasarkan karakteristik peserta didik Mengutamakan media pendidikan seperti: e-learning, media AV, modul, TV, radio dan komputer interaktif

4. Tenaga pendidik Guru atau tutor yang berperan/berfungsi sebagai: pembimbing, pembina, motivator dan fasilisator. Tutor atau instruktur yang berperan/berfungsi sebagai: pembimbing, pembina, motivator dan fasilisator
5. Tempat belajar Sangat fleksibel: bisa di sekolah dan di luar sekolah Sangat fleksibel: bisa dalam setting sekolah bisa dimana saja
6. Waktu belajar Sangat fleksibel: karena menekankan pada belajar mandiri dangan media pendidikan. Sanagt fleksibel: sesuai dengan kesepakatan dan kesiapan peserta didik
7. Lama belajar Menganut toeri mastery learning (belajar tuntas): tidak terpaku dengan waktu yang kaku. Menganut toeri mastery learning: tidak terpaku dengan waktu yang kaku
8. Penilaian dalam belajar,1. Keterlibatran peserta dalam penilaian sangat besar,2. Menekankan pada penilaian oleh peserta belajar sendiri. (self assesmen),1. Keterlibatran peserta dalam penilaian sangat besar, 2. Menekankan pada penilaian oleh peserta belajar sendiri (self assesment)

Paradigma yang mengatakan bahwa adaptasi dan adopsi TP dalam PLS merupakan usaha yang sangat mahal dan kurang cocok dilihat dari sasaran peserta didiknya, merupakan paradigma lama yang tidak secara jujur dan mendalam menganalisnya. Karena perkembangan teknologi yang begitu pesat, yang berinkarnasi menjadi globalisasi informasi (bukan globalisasi informasi menumbuhkan TP), mengakibatkan batas-batas negara, kekangan politik dan batasan wilayah atau pemerintahan dalam penyelenggaraan sistem pendidikannya menjadi tidak berlaku lagi.
Dalam situasi seperti ini, sebetulnya jalur PLS dapat dapat menggunakan peluang emas tersebut dan mengambil manfaat yang sebesar-besarnya untuk mengatasi pengangguran, DO dari jalur sekolah, anak yang tidak sekolah dan pendidikan tinggi, serta warga masyarakat yang ingin meningkatkan keterampilan dan keahliannya, sehingga kehadiran PLS menjadi sangat diperlukan oleh sararan didik (siswa, mhasiswa, pekerja, pegawai, buruh, masyakarat awan, ibu rumah tangga dan lain sebagainya). Hal ini sangat memungkinkan karena konsep TP dalam PLS sangat memungkinkan untuk memberikan pelayanan pendidikan secara serempak dalam cakupan nasional melalui pendidikan jarak jauh yang didukung oleh metode belajar kelompok dan mandiri.
Selain itu, kesesuain sifat TP dan PLS ialah dalam hal manajemen atau sistem pengelolaan kegiatan/kelompok belajar dan pembelajaran yang menekankan pada belajar mandiri. Dengan sistem pembelajaran jarak jauh peserta belajar yang menghadapi berbagai hambatan masih dapat memperolah layanan pendidikan. Melalui belajar jarak jauh, peserta belajar sangat memungkinkan melakukan akses sumber belajar dari segala penjuru dunia dengan cepat dan tepat tanpa hambatan yang berarti.
Oleh sebab itu, perlu diyakini bahwa makin lengkap dan konsisten implementa dan penjabaran konsep TP dalam PLS akan makin kuat peran ekonomi pendidikan yang ditunjukan oleh PLS. Indikator yang menunjukan bahwa PLS merupakan sumber ekonomi pendidikan, diantaranya :
1. Tingkat efisiensi dan efektifitas PLS sangat tinggi, karena hampir semua PLS dirancang dan dilakukan berdasarkan kebutuhan masyarakat
2. Secara fungsional, kaitan PLS dengan pendidikan jalur sekolah adalah sebagai substitusi, suplemen dan komplemen pendidikan sekolah.
3. Lulusan PLS baik yang berasal dari pengangguran, pegawai yang ingin meningkatkan profesi dan keterampilannya menjadikan mereka dapat bekerja di dalam negeri dan luar negeri
4. Siswa dari jalur sekolah yang kemampuan akademik dan keterampilan kejuruannya belum memadai, setelah mengikuti kursus teretntu menjadi siswa yang berprestasi
5. Para penyelenggara PLS dapat memperoleh keuntungan dan dapat memperkerjakan cukup banyak pegawai untuk mengelola lembaga PLS , dan mereka merupakan swadaya murni masyarakat tanpa bantuan pemerintah.

Dengan demikian setipa program PLS dapat dikelola dengan pendekatan bisnis yang cukup menguntungkan semua pihak. Selanjutnya, secara makro PLS dapat diukur dari sejauh mana pendidikan sepanjang hayat sudah merupakan bagian dari budaya masyarakat luas.

2. Masalah Penerapan Teknologi Pendidikan dalam Pendidikan Luar Sekolah
Media massa khususnya TV dan media cetak mestinya lebih banyak atau dapat dimanfaatkan untuk program-program pendidikan, yang secara tidak langsung merupakan penerapan TP dalam PLS. Namun dalam kenyataannya, media massa tersebut lebih banyak didominasi oleh tayangan dan gambar mengenai kekerasan, mudahnya memperoleh narkoba, pornografi, simbol-simbol pelanggaran HAM dan ketidakadilan gender. Gencarnya gambar dan tayangan serta berita seperti itu akan mempengaruhi dan membentuk opini dan sikap masyarakat, khususnya anak-anak dan generasi muda kearah sikap dan prilaku yang kontraproduktif.
Oleh karena itu, perlunya peran serta pemerintah dan masyarakat untuk dapat turun serta dalam hal ini, dengan memberikan batasan-batasan kepada media massa, untuk memberikan program-program yang mendidik bukan membodohi masysrakat. Diharapkan dengan peran serta tersebut, kita dapat menikmati media massa yang berisikan pesan-pesan moral yang mendidik baik itu secara langsung maupun tidak langsung.
Selain media massa, tutorial merupakan salah satu metode pembelajaran yang sudah dilakukan sejak zaman dulu kala. Belajar pada jalur PLS lebih menekankan pada peran belajar tutorial, kelompok dan mandiri sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan dan secara konseptual sangat positif. Namun karena tutor bukan seseorang yang secara khusus dididik sebagai tutor, tetapi guru yang merangkap tutor, sehingga meraka memiliki keterbatasan dalam pemahaman dirinya sebagai tutor. Dengan demikian dalam PLS sebagian tutor belum memenuhi kualifikasi teknis (metodologis dan akademis) sebagai tutor.
Dampaknya ialah proses pembelajaran di PLS dilakukan seperti proses pendidikan di sekolah yang lebih menekankan pada metode ceramah dan tatap mujka yang diperankan oleh guru sebagai tutor. Sedangkan metode belajar kelompok dan mandiri dilakukan dengan seadanya. Dengan demikian tutor pada umumnya belum sepenuhnya mampu melaksanakan tugasnya sebagai tutor yang secara ideal mestinya mampu mengembangkan dalam mencari dan mengembangkan pengetahuan, keterampilan sosial dan komunikasi, dan meningkatkan harga diri peserta didik.
Tutor harusnya mampu melakukan lebih banyak kerja pratik, membantu peserta didik, banyak bertanya bukan menjawab, mendemontrasikan cara menguasai materi pembelajaran melalui proses pembelajaran partisipatif, memberikan cukup contoh-contoh, mengolah dan merespon jawaban-jawaban yang salah, serta mampu menghidupkan dan meluasakan gagawan warga belajar yang sudah berkarat. Secara konseptual, tutoril mestinya dapat dilakukan secara efektif dan efisien termasuk efisien dalam pembiayaan dan dapat meningkatkan prestasi belajar.
Pengembangan kualitas dan kuantitas program PLS sampai saat ini masih sangat terbatas. Misalnya, program Kelompok Belajar Usaha (KBU) dan Magang yang sampai saat ini tidak ada peningkatan kualitasnya. Hal ini terjadi karena desain program dan ketentuan lainnya masih tetap sama sejak dulu, sehingga semakin tidak menarik minat masyarakat karena tidak sesuai dengan perkembangan kebutuhan masyarakat dan perkembangan berbagai faktor yang terkait dengan kedua program tersebut.
Program Paket A setara SD dan Paket B setara SLTP juga semakin kehilangan pamornya, karena semakin sedikit warga masyarakat yang tidak bersekolah di SD dan SLTP yang tertarik menjadi peserta belajar di kedua program tersebut. Satu-satunya program PLS yang sangat dinamis dalam perkembangan kebutuhan masyarakat, ilmu pengetahuan den teknologi ialah kursus-kursus yang diselenggarakan masyarakat. Bahkan sekarang banyak lembaga kursus yang berkerjasama dengan negara lain dan telah menyusun standar kompetansi internasional, sehingga tamatannya diakui oleh negara tersebut dan dapat bekerja di negara asing lainya.

G. Penutup
Pemerataan pendidikan dalam arti pemerataan kesempatan untuk memperoleh pendidikan telah lama menjadi masalah yang mendapat perhatian, terutama di negara-negara sedang berkembang. Hal ini tidak terlepas dari makin tumbuhnya kesadaran bahwa pendidikan mempunyai peran penting dalam pembangunan bangsa, seiring juga dengan berkembangnya demokratisasi pendidikan dengan semboyan education for all.
Bagi bangsa yang ingin maju, pendidikan merupakan sebuah kebutuhan. Sama dengan kebutuhan perumahan, sandang, dan pangan. Bahkan, ada bangsa atau yang terkecil adalah keluarga, pendidikan merupakan kebutuhan utama. Artinya, mereka mau mengurangi kualitas perumahan, pakaian, bahkan makanan, demi melaksanakan pendidikan anak-anaknya. Seharusnya negara juga demikian. Apabila suatu negara ingin cepat maju dan berhasil dalam pembangunan, prioritas pembangunan negara itu adalah pendidikan. Jika perlu, sektor-sektor yang tidak penting ditunda dulu dan dana dipusatkan pada pembangunan pendidikan.
Pendidikan Luar Sekolah (PLS) yaitu sebagai substitusi, suplemen dan komplemen pendidikan sekolah, PLS mempunyai cakupan garapan yang sangat luas. Di negara maju yang kualitas jalur sekolahnya sudah baguspun peranan PLS masih tetap besar, apalagi di Indonesia dimana sistem pendidikan sekolahnya masih carut marut seperti saat ini. Namun dalam kenyataannya PLS belum dimanfaatkan sesuai dengan potensi dan kemampuannya yang cukup besar sehingga kontribusinya juga belum optimal. Jalur PLS merupakan pendidikan yang diselenggarakan di luar sekolah melalui kegiatan belajar mengajar yang tidak harus berjenjang dan bersinambungan.
Oleh sebab itu, perlu menjadi perhatian pemerintah melalui semangat otonomi daerah adalah mengerakan program PLS tersebut, karena UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional secara lugas dan tegas menyebutkan bahwa PLS akan terus ditumbuhkembangkan dalam kerangka mewujudkan pendidikan berbasis masyarakat, dan pemerintah ikut bertanggungjawab kelangsungan PLS sebagai upaya untuk menuntaskan wajib belajar 9 tahun.
Bagi negara maju dan negara berkembang, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta sistem informasi yang begitu cepat mendorong berbagai aspek, khususnya sistem pendidikan untuk mengubah visi, misi dan strateginya secara revolusioner.




Referensi


Andriyani, Titik dan Anita Rachman. 2007. Model Pendidikan Luar Sekolah hasil Pemikiran Asah Pena. Pontianak Post Online. (http://www.pontianakpost.com/ berita/index.asp?Berita=Edukasi&id=137047, diakses tanggal 1 Desember 2007).
Isjoni. 2004. Pendidikan Luar Sekolah. www.pendidikan.net. (http://re-searchengines. com/isjoni13.html, diakses tanggal 1 Desember 2007).
Miarso, Yusufhadi. 2004. Menyemai Benih Teknologi Pendidikan. Jakarta : Kencana Prenada Media Group.

Pidarta, Made. 1997. Landasan Kependidikan. Yakarta : Rineka Cipta.

Prawiradilaga, Dewi Salma dan Eveline Siregar. 2007. Mozaik Teknologi Pendidikan. Jakarta : Universitas Negeri Jakarta.

PTS Online. 2007. Kursus: Pendidikan Luar Sekolah. (http://www.pts.co.id/ kursus.asp, diakses tanggal 1 Desember 2007).

Seels, Barbara B dan Richey, Rita C. 1994. Teknologi Pembelajaran Definis dan Kawasannya. Jakarta : Universitas Negeri Jakarta.

Suharsaputra, Uhar. 2007. Pemerataan Pendidikan. (http://tappkipmkng.wordpress. com/2007/05/03/pemerataan-pendidikan, diakses tanggal 1 Desember 2007).

Tirtarahardja, Umar dan Sulo, S.L.La. 2005. Pengantar Pendidikan. Jakarta : Rineka Cipta.


ooo 000 ooo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar